Jumat, 19 April 2013

oh tugas


Sejenak mata terpejam hanya sekitar 90 menit mungkin sebelum azan subuh menyertai kokokan ayam yang mengawal fajar terangkat dari persemayaman .
Terangkai bintang dan langit malam yang mulai terhapus oleh rasa capai yang kian menekan ,menyisakan lembar demi lembar amanah nilai untuk dipamerkan pada sang ibu esok hari .
Hanya sedikit keluh ,bukan untuk rasa capai tapi untuk waktu yang tak tercipta lebih luas ,hanya IPK yang dapat diwujudkan dalam bentuk secari kertas yang mungkin menjadi tujuanku kah ?
Gelas gelas kopi dan piring bekas mi instan yang belum terbilas ,sempurna berserakan menyaksikan cekikikan penuh makna tentang cara menghargai hidup ,belajar dari perbedaan prinsip di tiap tiap kepala yang rata rata berambut sama hitam .
Memunculkan statement statement cerdas yang mencoba untuk membantu mengisi kekosongan faham kebodohan yang telah tercipta , . .
Namun apa daya ,sang raga tak berdiri sekokoh dan setangguh si akal
Dan kembalilah ia mulai mandi ,mengawali hari dengan sikap tersembunyi ,takut akan kesombongan yang menelan semua pemikiran pemikirannya  , . .
kembali pada sajak usang yang bisu dan beku .
Melayang dan kembali jatuh pada ibu .
Terhanyut dan terbuai dalam pilu .

krisis


Satu jam waktu yang dibutuhkan untuk menggoreng amarah dan kebencian melalui penggorengan diferensiasi sifat dan budaya yang melekat secara personal , . .
Dibolak balik sang koki yang terlihat amat mahir menentukan proses sikap sikap laknat terbentuk ,sejenak ia sirami dengan paksaan berlandaskan kebodohan , . .
sedkit dibumbui dengan resep turun temurun yang terlihat sulit untuk ditandingi ,menghasilkan kepalsuan senyum para konsumen yang terbentuk mengatasnamakan kepentingan golongan dan berdiri diatas nama demokrasi iblis . . .
dan ia duduk menikmati pemandangan yang dihasilkan oleh kesenjangan perbedaan perseorangan ,sembari meneguk perlahan secangkir konflik , . .
terasa nikmat memang apalagi itu adalah hasil dari fermentasi kebencian kebencian akan sikap para elit organisasi yang hanya bisa mengeruk hasil dari dosa besar bernama votting . . .
lalu dimana seorang keadilan yang mengkreasikan menu dari resep resep lain untuk menghindari kejenuhan kontinyu para konsumen ?
dimana hak konsumen muka masam yang terkadang jatahnya diembat oleh konsumen senyum palsu ?
mungkin saja agar warung tradisi ini terus berjalan tanpa mengalami goncangan berarti hal hal picik seperti itu yang sepantasnya dilakukan ,mungkin , . .
lalu kemanakah kesalahan mampu ditudingkan jika para konsumen senyum palsu mulai menyadari kejenuhan yang ada ? kepalsuan dari senyum yang mereka ukir sendiri itu ?
apa yang harus diperbuat ? sudah terlintaskah di fikiran anda ?
 layaknya minyak goreng yang semakin pekat terpakai ,sudah sepantasnya minyak itu diganti dengan minyak yang baru bukan ?